DAERAH

Marwah Guru Terjebak Dalam Beban Rutinitas Administratif

Oleh: Edi Saputra, M.Ed

Kutipjambi.com- Sebagaimana yang tertuang pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen ditegaskan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Namun guru dibebankan dengan rutinitas administrasi tinggi telah menjadi momok dalam dunia pendidikan Indonesia. Guru tidak hanya dituntut mendidik siswa di kelas, tetapi juga sibuk menyusun laporan, mengisi lembar evaluasi, dan mengikuti pelatihan daring yang bersifat wajib administratif. Kondisi ini menyebabkan ironi: guru terpaksa meninggalkan kelas demi memenuhi kewajiban yang justru menjauhkan mereka dari esensi profesinya. Akibatnya, kualitas pembelajaran pun tergerus, dan tidak sedikit guru yang mengalami stres karena tekanan administratif yang tak kunjung reda.

Menjawab kegelisahan tersebut, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengambil langkah strategis dengan mengubah sistem pengelolaan kinerja guru. Mulai 2025, sistem penilaian berbasis angka yang selama ini memaksa guru mengejar target kuantitatif akan dihapuskan. Sebagai gantinya, sistem baru menekankan pada refleksi diri dan evaluasi berbasis praktik nyata. Guru diberi ruang untuk menilai diri secara jujur: apa yang berhasil, apa yang perlu ditingkatkan, dan bagaimana rencana pengembangannya ke depan. Refleksi ini kemudian diverifikasi oleh kepala sekolah, bukan untuk menghukum, melainkan untuk mendukung pertumbuhan profesionalisme.

Ini adalah langkah yang patut diapresiasi. Sebab, pengelolaan kinerja yang sehat tidak seharusnya menjadi alat kontrol administratif semata, melainkan jembatan menuju peningkatan kualitas guru. Pendekatan berbasis refleksi jauh lebih manusiawi dan produktif. Selain itu, kewajiban unggah dokumen manual juga dihapuskan, digantikan dengan sistem digital yang terintegrasi. Frekuensi penilaian pun dikurangi dari dua kali menjadi satu kali setahun. Artinya, waktu guru akan lebih banyak digunakan untuk mengajar dan belajar, bukan melaporkan atau mengejar sertifikat.

Namun, euforia ini tidak boleh membutakan kita dari tantangan di lapangan. Meski kebijakan sudah berubah di pusat, implementasinya di daerah masih menyisakan pekerjaan rumah besar. Banyak pengawas dan dinas pendidikan yang tetap menjalankan pola lama-mewajibkan guru mengikuti rangkaian pelatihan daring untuk meraih poin atau sertifikat tertentu. Guru akhirnya tetap terjebak dalam rutinitas administratif yang melelahkan. Ini menunjukkan bahwa reformasi di pusat harus dibarengi dengan penguatan sinergi dan pengawasan di daerah.

Lebih jauh lagi, perubahan sistem pengelolaan ini akan gagal total bila kepala sekolah dan pengawas tidak turut berubah paradigma. Mereka harus mulai melihat guru bukan sebagai objek administratif, tetapi sebagai mitra profesional. Supervisi tidak boleh lagi menjadi ajang mencari kesalahan, tetapi forum berbagi praktik baik. Maka dari itu, diperlukan pelatihan dan pendampingan yang menyeluruh agar reformasi ini benar-benar menjangkau akar rumput.

Penghormatan terhadap profesi guru tidak hanya ditunjukkan lewat upah atau gelar, tetapi juga dengan cara memperlakukan mereka secara bermartabat dalam sistem pendidikan. Mengurangi beban administrasi adalah langkah awal untuk mengembalikan marwah guru sebagai pendidik, bukan juru tulis birokrasi. Bila dikelola dengan baik, kebijakan ini bisa menjadi titik balik menuju pendidikan Indonesia yang lebih bermakna.

Penulis adalah Dosen Administrasi dan Supervisi Pendidikan pada Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Saifuddin Jambi.